Home » » TRAGEDI BERDARAH DI PADANG KARBALA

TRAGEDI BERDARAH DI PADANG KARBALA

Written By FATAMORGANA on Minggu, Desember 27, 2009 | 12/27/2009

PADANG KARBALAHari ini 10 Muharran 1431 H, yang kita kenal sebagai Hari Asyura (عاشوراء ) yang artinya adalah hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Islam. Sedangkan asyura sendiri berarti kesepuluh.

Namun dibalik semua itu ada sebuah peristiwa heroik yang perlu kita kenang, yaitu Tanggal 10 Muharram 61 H atau tanggal 10 Oktober 680 M merupakan hari pertempuran Karbala yang terjadi di Karbala, Iraq sekarang. Pertempuran ini terjadi antara pasukan Bani Hasyim yang dipimpin oleh Husain bin AliBani Umayyah yang dipimpin oleh Ibnu Ziyad, atas perintah Yazid bin Muawiyah, khalifah Umayyah saat itu.

Tragedi Karbala’, meski telah lewat 1370 tahun, masih mendengungkan nyanyian duka yang tiada henti. Berikut ini adalah babak terakhir Perang Karbala’ yang kembali dikisahkan bukan untuk memedihkan lagi luka sejarah itu, namun untuk sekedar mengingatkan, betapa perpecahan antar umat Islam sebaiknya tidak terjadi lagi.

Matahari bersinar garang, tepat di atas kepala-kepala berbalut sorban yang telah basah bermandikan keringat dan debu. Seorang pria setengah baya berteriak keras, “Hentikan pertempuran! Waktu Zhuhur telah tiba, kita harus shalat!!”

Sia-sia.......

Suara pria gagah itu lenyap ditelan gemuruh ribuan pasukan musuh yang terus merangsek maju. Ia mengeluh. Perlahan ia memutar pandangan ke sekelilingnya. Satu.. dua.. tiga.. hanya tinggal belasan orang saja kerabatnya yang masih bertahan hidup. Dengan tenaga yang masih tersisa pedang mereka menebas ke kanan dan ke kiri, menumbangkan satu persatu musuh yang mencoba mendekat.

Pria yang berjuluk Sayyid Syabab Ahlil Jannah itu kembali menghela nafas. Ketika matahari terbit pagi itu, ada tujuh puluh dua orang keluarga dan sahabat prianya yang berdiri gagah di belakangnya. Namun kini tinggal beberapa...

Memang. Apalah arti tiga puluh dua penunggang kuda dan empat puluh orang pejalan kaki, dibanding empat ribuan orang pasukan musuh. Satu persatu anggota pasukan kecil itu tumbang sebagai syahid. Dan ketika matahari mulai tergelincir ke barat, hanya tinggal orang saja yang tersisa, berjuang membela harga diri, kehormatan dan kebenaran yang mereka yakini.

Padang tandus itu masih mengepulkan debunya ke udara. Tak hanya pengap gurun yang tercium, udara ditepian sungai Eufrat siang itu juga mulai menebarkan bau amis darah.

Siang itu, terik mentari padang pasir menjadi saksi sebuah peristiwa kelam yang terus dikenang hingga saat ini, Perang Karbala. Perang, yang terjadi antara Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya melawan tentara Dinasti Umayyah yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash dan Syimar bin Dziljausyan, itu nyaris memusnahkan keturunan Rasulullah dari garis Al-Husain. Konon, pertempuran tak berimbang yang tak ubahnya pembantaian itu sudah diramalkan Nabi Muhammad SAW di hari Al-Husain lahir.

Dikisahkan, 57 tahun sebelumnya, ketika mendengar Fatimah Az-Zahra telah akan melahirkan putra keduanya, Rasulullah segera bergegas menjenguknya. Tak lama kemudian tangis sang jabang bayi pun pecah. Tangis itu sangat keras, sekokoh hati pemiliknya. Nabi Muhamad lalu meminta cucunya itu dibawa ke pangkuannya untuk dibacakan adzan dan iqamah.

Asma binti Umais, sahabat Anshar yang membantu Fatimah saat melahirkan, segera menggendong bayi merah itu dan menyerahkannya kepada Baginda Nabi. Setelah diadzani dan diiqamati, sang jabang bayi lalu diberi nama Al-Husain, semakna dengan nama sang kakak yaitu Al-Hasan yang berarti kebajikan.

Ketika tengah asyik menciumi sang cucu, tiba-tiba Nabi termangu dan meneteskan air mata. Umais pun segera bertanya, “Mengapa di hari bahagia ini Anda menangis, wahai Rasulullah?.”

“Jibril baru saja memberitahu kepadaku, kelak anak ini akan dibunuh oleh sebagian umatku yang durhaka. Jibril juga menunjukkan tanah di mana Al-Husain terbunuh.”

Ibnul Atsir, dalam tarikh Al-Kamilnya, menceritakan, Nabi pernah memberikan segumpal tanah berwarna kekuningan kepada Ummu Salamah, salah satu istri beliau, yang didapat dari Malaikat Jibril. Tanah tersebut, menurut kabar dari Jibril, berasal dari daerah di mana Al-Husain akan terbunuh dalam sebuah pertempuran.

Nabi berpesan kepada Ummu Salamah, “Simpanlah tanah ini baik-baik. Bila warnanya berubah menjadi merah, ketahuilah bahwa Al-Husain telah meninggal dunia karena dibunuh.”

Dan, tepat pada tanggal 10 Muharram 57 H, Ummu Salamah menyaksikan gumpalan tanah pemberian suaminya berubah warna menjadi merah. Tahulah ia, cucu kesayangan Rasulullah itu telah meninggal dunia. Ummu Salamah adalah orang pertama di Madinah yang mengetahui perihal kematian Al-Husain. Dari mulutnya pula berita duka itu menyebar ke segenap penjuru kota dan menggemparkannya.

Perang Karbala’ adalah tragedi terbesar kedua dalam sejarah Islam setelah beberapa perang saudara pada masa pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yakni Perang Jamal, yang menghadapkan Ali bin Thalib dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah Ummul Mukminin, dan Perang Shiffin, antara tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan kubu Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

Sebagaimana perang saudara sebelumnya, Perang Karbala juga menghadapkan dua tokoh generasi kedua Islam yang merupakan putra sahabat-sahabat terdekat Nabi, Al-Husain putra Sayyidina Ali dengan Umar putra Sa’ad bin Abi Waqash yang mewakili Yazid bin Muawiyyah dan gubernurnya di Kufah, Ubaidullah bin Ziyad.

Matahari terus bergerak ke arah barat. Menyadari pasukan musuh sama sekali tak berniat menghentikan pertempuran, bersama sisa pengikutnya Al-Husain pun mendirikan shalat khauf, shalat darurat di tengah medan perang. Di antara mereka tampak adik tirinya, Abbas; putra kedua Al-Husain, Ali Al-Akbar; dan kemenakannya, Qasim bin Hasan bin Ali. Bergantian mereka melaksanakan ruku’ dan sujud, sementara yang lain berusaha melindungi dengan pedang dan tombak.

Matahari semakin menyengat ketika shalat khauf usai. Kembali Imam Husain dan para pengikutnya berjuang mempertahankan diri. Dan kembali, satu persatu anggota pasukan kecil itu berguguran, hingga akhirnya tinggal Al-Husain, Ali Al-Akbar bin Al-Husain, dan Abbas saja yang tersisa.

Dengan gagah berani Ali Akbar menerjang musuh dan berhasil menumbangkan tiga atau empat orang musuh sebelum sebuah sabetan pedang membuatnya terluka parah. Ia mundur mendekati sang ayah karena merasa sangat kehausan. Namun sejak pagi, persediaan air rombongan Al-Husain telah habis. Sementara untuk mengambil dari sungai Eufrat yang tak seberapa jauh juga tak memungkinkan, karena ribuan tentara Umayyah berbaris menjaganya.

Dengan wajah iba Al-Husain menentramkan putranya, “Bersabarlah anakku, sebelum petang Datukmu Rasulullah SAW akan datang untuk memberimu minum dengan kedua tangan beliau yang mulia.”

Mendengar ucapan sang ayah yang menjanjikan kesyahidan, semangat Ali Akbar kembali tersulut. Ia segera kembali ke tengah pertempuran dan menumbangkan dua atau tiga lawan. Langkah pemuda pemberani terhenti ketika sebatang anak panah menembus lehernya. Ali Akbar menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuang sang ayahanda.

Tiba-tiba dari dalam tenda seorang perempuan menghambur keluar dan berlari menuju Imam Husain yang tengah memangku jasad Ali Akbar. Tangisnya pecah saat memeluk jenazah kemenakan tercintanya. “Terkutuklah orang-orang yang telah membunuhmu, Anakku,” raung Zainab binti Ali, adik kandung Al-Husain. Kematian Ali Akbar menggenapkan dukanya setelah sepagian melihat tiga putranya Aun Al-Akbar, Muhammad dan Ubaidullah gugur di medan perang Karbala’.

Al-Husain, sambil membawa jenazah Ali Akbar, segera menarik adiknya kembali ke tenda. Tiba-tiba dari arah belakang kemudian terdengar teriakan seorang bocah kecil, “Hai orang jahat! Kau mau membunuh pamanku?.”

Dengan berani anak itu menghadang laju seorang prajurit Umayyah yang akan membokong Al-Husain. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat kayu. Sejurus kemudian Qasim bin Hasan bin Ali, demikian nama anak yang baru menginjak remaja itu, menjerit karena seorang tentara musuh menebas putus tangan mungilnya.

Al-Husain segera meraih remaja yang mewarisi ketampanan ayahandanya itu. Dengan lembut ia berbisik di telingan kemenakan kecilnya, “Tabahkan hatimu, anakku sayang. Allah akan segera mempertemukanmu dengan ayah dan kakekmu.”

Kini hanya tersisa Al-Husain dan adik tirinya Abbas bin Ali. Penatnya bertempur seharian dan teriknya matahari siang membuat dahaga keduanya tak tertahankan lagi. Mereka pun nekat menerobos barisan tentara Umayyah yang menjaga tepian sungai Eufrat. Berhasil. Dengan tergesa keduanya menciduk air dengan kedua telapak tangannya.

Namun sebelum dahaga itu terobati, hujan anak panah membuat Abbas rebah tak bangun lagi. Sebatang anak panah juga menghujam pipi Al-Husain. Dengan pilu dicabutnya anak panah dan menutup lubangnya dengan telapak tangan. Kepala suami Syahbanu, putri kerajaan Persia, itu kemudian tengadah dan berdoa, “Ya Rabb, hanya kepada-Mu aku mengadu. Lihatlah perlakuan mereka terhadap cucu rasul-Mu.”

Matahari telah condong di ufuk barat. Waktu Ashar yang telah datang menjelang menjadi saksi Al-Husain yang tinggal berjuang sendirian. Wajahnya nampak lelah, meski tak mengurangi sorot keberaniannya, dan sekujur tubuhnya dipenuhi luka senjata.

Puluhan anggota pasukan Umayyah mengurungnya. Namun seperti tersihir, tak satupun yang berani mengayunkan pedang ke arah Imam Husain. Nampaknya ada keraguan yang menyelimuti benak masing-masing pasukan. Mereka tengah menimbang, “Beranikah menanggung resiko menjadi orang yang menghabisi nyawa cucu Rasulullah?.”

Sementar Al-Husain, dengan segala kewibawaan dan harga diri yang diturunkan ayah dan kakeknya, berdiri di tengah-tengah dengan pedang teracung. Ia berseru lantang, “Apa yang membuat kalian ragu membunuhku. Majulah. Demi Allah, tidak ada pembunuhan yang lebih dibenci Alah dari pada pembunuhanku ini. Sungguh Allah akan memuliakanku, dan menghinakan kalian.”

Melihat Al-Husain sendirian di tengah kepungan musuh, Zainab –yang belakangan di kenal sebagai Bathalah Karbala, pahlawan Karbala—berseru, “Mudah-mudahan langit ini runtuh.” Ketika itulah Umar bin Sa’ad, sang panglima tentara Umayyah, melintas. Zainab pun memanggilnya, “Hai Umar, tega sekali kau melihat Husain dibunuh di depan matamu.” Umar tertegun, matanya nampak berkaca-kaca, namun ia segera berlalu.

Tiba-tiba Syimar Dzil Jausyan mendekati kepungan. Melihat anak buahnya tak ada yang berani menyerang al-Husain, ia pun membentak, “Terkutuk kalian semua! Apa yang kalian tunggu? Cepat bunuh dia! Khalifah akan memberikan hadiah yang besar bagi kalian.”

Bentakan itu seakan membangunkan mereka dari mimpi. Zara bin Syarik mengayunkan pedangnya hingga memutuskan lengan kiri Al-Husain. Masih dalam keadaan limbung, tombakan Sinan bin Nakhi merobohkan tubuh cucu baginda Nabi itu ke tanah. Melihat teman-temannya masih diam tertegun, Sinan segera turun dari punggung kudanya dan memenggal kepala Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib. Al-Husain wafat pada tanggal 10 Muharram 61 H, lima puluh tujuh tahun setelah Rasulullah mendapat kabar kematiannya dari Malaikat Jibril.

Tak cukup puas, serdadu-serdadu yang sudah kesetanan itu lalu menjarah benda berharga yang melekat pada mayat-mayat pejuang pembela Al-Husain dan merampok barang bawaan di tenda-tenda rombongan Ahlul Bait. Saat itulah Syimar menemukan Ali Asghar, putra Al-Husain, yang sedang terbaring sakit di dalam tenda dengan ditemani bibinya, Zainab. Lelaki biadab itu pun bermaksud menghabisi Ali Ashgar, kalau saja Zainab tidak mati-matian mempertahankannya.

Sambil memeluk keponakannya, wanita pemberani itu berteriak, “Apa akan kau bunuh juga anak yang sedang sakit ini?.”

Syimar ragu-ragu sejenak sebelum memilih untuk meninggalkannya. Mungkin ia berpikir, tanpa dibunuh pun anak yang sedang sakit itu akan mati sendiri, karena kehabisan bekalan makanan, minuman dan obat-obatan. Namun siapa yang tahu rahasia Allah? Justru dari anak yang nyaris terbunuh itulah keturunan Al-Husain kemudian dapat berlanjut hingga saat ini.

Dikisahkan bukan untuk memedihkan lagi luka sejarah itu, namun untuk sekedar mengingatkan, betapa perpecahan antar umat Islam sebaiknya tidak terjadi lagi. Dan Alangkah baiknya bila hari ini kita jadikan sebagai momen untuk bertafakkur serta berpuasa.

Dirangkum dari :
http://ahmadiftahsidik.blogspot.com/

Share this article :

50 comments:

  1. Postingan mantap tentang Tragedi Padang karballa. Numpang baca-baca bang iwan.

    BalasHapus
  2. Betapa perpecahan antar umat Islam sebaiknya tidak terjadi lagi. Jejak sejarah kelam islam ini semoga tidak akan terjadi lagi di masa-masa yang akan datang. Bersatulah umat Islam.

    Subhanallah. Artikel luar biasa, daeng.

    BalasHapus
  3. Saya tak pernah dapat menyimpan tangis bila mengenang kisah ini, bang. Karena itu saya hanya dapat berbagi sisi lain dari Al-Husein di postingan saya. Disini, saya diberi hikmah lain. Terima kasih, bang ...

    BalasHapus
  4. Wah jadi tau nih ceritanya...sebelumnya hanya tau dari mulut ke mulut yang kurang jelas infonya.
    Thanks infonya sob

    BalasHapus
  5. Mantap banget mas.. setiap umat Islam pasti tak kan pernah melupakan Kisah di Padang Karbala.. thanks 4 sharing :)

    BalasHapus
  6. Subhanallah... dari tempat Mbak Anie langsung kemari dan kembali saya membaca lagi kisah ini, perih rasanya hati, gigi2 gemeretakan menahan geram atas ulah para manusia terkutuk yg udah membantai sodara2 kita itu.

    Astagfirullahal 'adzim... ampuni dosa2 mereka ya Allah... sesungguhnya karna Engkaulah semua itu bisa terjadi...

    BalasHapus
  7. ceritanya bagus. baru pertma dengar...

    BalasHapus
  8. sangat menyakitkan hati ...................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................

    BalasHapus
  9. Astagfirullahaladzim ... saya baru tahu sisi lain dari heroiknya perang karbala ini ...terharu sekali membacanya sob... semoga laknat Allah akan ditimpakan pada mereka yang bersalah..

    BalasHapus
  10. hati saya tergetar membacanya...

    pstingan yang sangat luar biasa mas...

    BalasHapus
  11. Terima kasih Bang, sudah kembali menuturkannya dengan detil...

    BalasHapus
  12. Saya tak pernah dapat menyimpan tangis bila mengenang kisah ini, bang. Karena itu saya hanya dapat berbagi sisi lain dari Al-Husein di postingan saya. Disini, saya diberi hikmah lain. Terima kasih, bang .

    Kunjungi saya juga ya ada postingan baru, tiap hari update posting

    BalasHapus
  13. Mending FOLLOW gus ikhwan aja, biar tau update nya karena saya postingnya tentang SEO, BLOGGING kok

    BalasHapus
  14. "karbala"peristiwa berdarah dalam sejarah islam..

    berkunjung di hr minggu sekalian baca2,

    BalasHapus
  15. Lumayan liburan gini dapat cerita yang banyak hikmah dan sejarahnya...

    apalagi sejarah islam..

    PooL deh..

    BalasHapus
  16. Mas. saya ikutan PollOw yah... hehe,,

    BalasHapus
  17. kenyataannya, ummat islam saat ini tidak pernah belajar dari tragedi itu. syaitan memang sungguh pintar mengelabui kita :((

    BalasHapus
  18. Luar biasa entrinya kali ini kak mudah-mudahan kita semua bisa mengambil pelajaran dari peristiwa diatas jayalah umat islam

    BalasHapus
  19. wupz postingan sejarah perang karbala lengkapz banget bro... saya baru membaca sejarahnya secara lengkap di blogmu ini... semoga tiada lagi terjadi perpecahan antar umat islam yupz bro...

    BalasHapus
  20. Subhanallah, aku kok jadi cengeng ya, demi Islam mereka berjuang tanpa pamrih...sampai tinggal satu! Surga tempat mereka! Amin!

    Maaf bang tadi speedy drop!

    BalasHapus
  21. posting yang ok....cerita yang bagus...

    nice post...salam kenal!!

    BalasHapus
  22. keuren banget ceritanya kawan..
    sampe terharu bacanya..
    thanks bang.. :)

    BalasHapus
  23. hiks... jadi ingat sejarah 10 muharrram,,, dimana cucu nabi terbunuh dan dipenggal kepalanya dengan tombak dan dibawa kemana mana... sungguh terlaknat....

    BalasHapus
  24. jujur..henny baru tahu cerita tentang tragedi 10 Muharram ini. makasih banyak bang iwan, jadi numpang belajar nih..

    BalasHapus
  25. Semua itu kehendak Allah yang patut kita jadikan bahan instrospeksi diri

    BalasHapus
  26. tragedi yang sangat berdarah
    jangan sampai terjadi perang saudara lagi

    BalasHapus
  27. MasyaAllah....... jangan sampai terjadi lagi..

    BalasHapus
  28. Zainab sungguh wanita yang hebat..

    BalasHapus
  29. yupp persatuan umat islam...
    bacaan menarik,semoga Allah membalas kebaikan yang anda berikan.

    BalasHapus
  30. sodaraku yang muslim selalu puasa 10 11 muharam loh kang... walaupun aku nggak ngerti artinya, tapi sepertinya dia selalu sungguh2 tiap puasa 10 - 11 muharam itu... katanya maknanya lebih syahdu...

    BalasHapus
  31. bersatu kita teguh... bercerai akan runtuh...

    BalasHapus
  32. kisah yang indah. wajar klo kita dianjurkan untuk puasa 10 M karena byk sejarah besar yang terjadi

    BalasHapus
  33. bukan tragedi berdarah dan perangnya yang saya tangkap dari cerita di atas...tapi hikmah yang besar......dan keimanan pada nabi yang luar biasa berkecamuk di hati saya.........setelah selesai membaca dari awal hingga bagian akhir yang saya ucapkan hanya "allahuma shali 'ala sayidina muhammad wa ala alihi sayidina muhammad..."

    BalasHapus
  34. sayangnya cuman satu bang....hari ini saya ga puasa.....aduhhhhhh

    BalasHapus
  35. penggalan kisah pedih ini sempat saya dengarkan pada khutbah jum'at kemarin, dan seutuhnya saya dapatkan disini...

    BalasHapus
  36. Elegi padang Karbala, sebuah cerita yang tragis. Ah, jadi ingat buku ZAINAB SRIKANDI KARBALA...

    BalasHapus
  37. Cukuplah sudah kisah perpecahan umat islam di Padang karbala ini.
    Moga saja Targedi ini tidak terulang lagi, Amin.

    BalasHapus
  38. kisah di padang karbala akan menjadi kisah yang tak terlupakan tp kita harus bisa mengambil hikmahnya

    BalasHapus
  39. Perang saudara selalu lebih mengerikan karena itu berarti kita akan kehilangan sesuatu yg tadinya dekat dengan kita.

    BalasHapus
  40. Seandainya saya bisa ada pada saat itu,aq bisa merasakan penderitaan saudara2 kita pada saat itu...........karbala????karbala????cukup tragis..........

    BalasHapus
  41. tragedi karbala...bukti dari tidak bersatunya umat islam,.........

    BalasHapus
  42. karbala, identik dengan Syiah ya.
    kita ambil positifnya saja, semoga tidak ada perpecahan lagi sesama muslim

    BalasHapus
  43. Asslamualaikum....
    Salam kenal.....
    Izin copas y pak....makasi

    BalasHapus
  44. tragedi padang karbala,,jika tak ada Sayyidina Ali Zainal Abidin,,entah apa yang terjadi dengan keturunan Sayyidina Husain,,menyedihkan bagi semuat umat muslem.
    Artikel bagus,,ikut ngelink mas..

    BalasHapus
  45. setiap hari adalah asyuro, dan tiap tanah adalah karbala

    BalasHapus
  46. Sebuah sejarah , sebuah pelajarannn

    BalasHapus

SAHABAT FATAMORGANA

 
Support : FATAMORGANA
Copyright © 2015. FATAMORGANA - MERANGKUM FAKTA, MEREKAM INFORMASI, DAN BERBAGI KHAZANAH
Created by Creating Website Published by Mas Template
Powered by Blogger