Cinta kepada lain jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab cintalah, keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga.
Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan bagi penghuni surga.
Islam sebagai agama yang sempurna juga telah mengatur bagaimana menyalurkan fitrah cinta tersebut dalam syariatnya yang rahmatan lil ‘alamin.
Namun, bagaimanakah jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar`i...???
Fenomena itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda. Penyaluran cinta ala mereka biasa disebut dengan pacaran...!!!
Bila kita tinjau fenomena pacaran ala anak muda sekarang, maka kita akan menemukan bahwa bentuk pacaran bisa mendekati zina. Semula diawali dengan pandangan mata terlebih dahulu, Lalu pandangan itu mengendap di hati, Kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua, Lalu berani berdua-duaan di tempat yang sepi, Setelah itu bersentuhan dengan pasangan, Lalu dilanjutkan dengan ciuman, dan akhirnya, sebagai pembuktian cinta dibuktikan dengan berzina.[Naudzu billahi min dzalik],
Lalu pintu mana lagi paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran...??? Mungkinkah ada pacaran Islami...???
Sungguh, pacaran yang dilakukan saat ini bahkan yang dilabeli dengan
’pacaran Islami’ tidak mungkin bisa terhindar dari larangan-larangan di atas.
Solusi permasalahan diatas adalah kita harus kembali kepada konsep yang sesuai dengan tuntunan islam, yaitu Taaruf
Taaruf adalah kegiatan bersilaturahmi, kalau pada masa ini
kita bilang berkenalan bertatap muka, atau main/bertamu ke rumah
seseorang dengan tujuan berkenalan dengan penghuninya.
Bisa juga dikatakan bahwa tujuan dari berkenalan tersebut adalah untuk
mencari jodoh. Taaruf bisa juga dilakukan jika kedua belah pihak
keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak untuk bersedia atau
tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khitbah. Taaruf juga dimaksudkan untuk mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling mengenal.
Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan
pendekatan, taaruf sangat berbeda dengan pacaran. Taaruf secara syar`i
memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah.
Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi tujuan
dan manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina, dan maksiat. Taaruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
Dalam upaya ta’aruf dengan calon pasangan, pihak pria dan wanita
dipersilakan menanyakan apa saja yang kira-kira terkait dengan
kepentingan masing-masing nanti selama mengarungi kehidupan. Tapi tentu
saja semua itu harus dilakukan dengan adab dan etikanya. Tidak boleh
dilakukan cuma berdua saja. Harus ada yang mendampingi dan yang utama
adalah wali
atau keluarganya. Jadi,taaruf bukanlah bermesraan berdua,tapi lebih
kepada pembicaraan yang bersifat realistis untuk mempersiapkn sebuah
perjalanan panjang brdua. ta'aruf adalah proses saling kenal mengenal
pra nikah dengan dilandasi ketentuan syar'i.
Taaruf adalah media syar`i yang dapat digunakan untuk melakukan pengenalan terhadap calon pasangan.
Sisi yang dijadikan pengenalan tak hanya terkait dengan data global,
melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing-masing pihak
cukup penting, misalnya masalah kecantikan calon istri, dibolehkan untuk
melihat langsung wajahnya dengan cara yang saksama, bukan cuma sekadar
curi-curi pandang atau melihat fotonya. Islam telah memerintahkan
seorang calon suami untuk mendatangi calon istrinya secara langsung, bukan melalui media foto, lukisan, atau video. Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan aurat.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
Dalam Islam,
pernikahan bukan semacam transaksi gelap dan tidak jelas, seperti orang
membeli kucing dalam karung. Pasangan yang menikah justru harus saling
mengenal dan saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Dalil perlunya melihat calon istri/suami antara lain tiga hadits berikut ini.
- “Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah”. (HR Ahmad dan Abu Daud)
- “Dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang hendak menikahi wanita, “Apakah kamu sudah pernah melihatnya?” “Belum,” jawabnya. Nabi SAW bersabda, ‘Pergilah melihatnya dahulu.’” (HR. Muslim)
- Mughirah bin Syu’bah RA berkata, “Aku meminang seorang wanita. Dan Rasulullah SAW bertanya padaku, “Apakah kamu sudah melihatnya?” Aku menjawab ‘Tidak.” Lalu beliau berkata, “Lihatlah dia karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.” (HR. Ibnu Majah)
Berikut ini adalah kaidah sesuai syariah yang harus dipatuhi saat taaruf :
1. Niat ingin menikahi
Hanya pria yang benar-benar berniat menikahi sang perempuan saja yang dibolehkan melihat. Sedangkan mereka yang cuma sekadar iseng-iseng atau coba-coba, padahal di dalam hati belum berniat menikahi, tentu tidak dibenarkan melihat.
Bahkan ulama Maliki, Syafii, dan Hambali mensyaratkan bahwa orang yang melihat calon istrinya sudah punya keyakinan bahwa wanita itu sendiri pun akan menerimanya.
Sementara mazhab Hanafi tidak mensyaratkan sampai sejauh itu, mereka hanya membatasi adanya keinginan untuk menikahinya saja, tidak harus ada timbal-balik antara keduanya (Al-Hathab Ar-Ra’ini, Mawahibul Jalil Syarah Mukhtashar Khalil, jilid 3 hal. 405).
Mughirah menemui calon istrinya spontan, tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Dari sini jumhur ulama berpendapat, tak ada ketentuan bahwa wanita mesti tahu sejak awal bahwa dia akan dilihat.
Sebagian ulama berpandangan sebaiknya sang wanita memang tidak diberitahu, agar dia tampil alami di mata yang melihat, sehingga tidak perlu menutupi apa yang ingin ditutupi.
Sebab kalau wanita itu mengetahui bahwa dirinya sedang dilihat, secara naluri dia akan berdandan sedemikian rupa untuk menutupi aib-aib yang mungkin ada pada dirinya. Maka dengan begitu, tujuan inti dari melihat malah tidak akan tercapai.
Namun mazhab Maliki berpendapat kalau pun bukan izin dari wanita yang bersangkutan, setidaknya harus ada izin dari pihak walinya. Hal itu agar jangan sampai tiap orang merasa bebas memandang wanita mana saja dengan alasan ingin melamar (Shalih Abdussami’ Al-Abi Al-Azhari, Jawahirul Iklil, jilid 1 hal. 275).
Jumhur ulama sepakat bahwa batasan yang boleh dilihat dalam taaruf adalah bagian tubuh yang bukan aurat.
Bila calon suami ingin melihat calon istrinya, maka dia hanya boleh melihat wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan. Sedangkan bila calon istri ingin melihat calon suaminya, maka batasan auratnya adalah antara pusar dan lututnya.
5. Melihat berulang-ulangYang dibolehkan hanya melihat bagian tubuh yang bukan aurat, sedangkan menyentuh, apalagi dengan nafsu justru dilarang.
Pria boleh melihat calon pasangan lebih dari sekali, sebab bisa saja penglihatan yang pertama akan berbeda hasilnya dengan penglihatan kedua, ketiga dan seterusnya.
Oleh karena itu, pada prinsipnya asalkan bertujuan mulia dan terjaga dari fitnah, dibolehkan melihat calon istri beberapa kali, hingga si pria betul merasa mantap dengan pilihan.
Sebagian kalangan ada yang dengan sangat ketat melarang calon pasangan untuk saling bertemu muka langsung. Alasannya karena takut nanti menimbulkan gejolak di dalam hati.
Padahal sebenarnya pertemuan langsung itu tidak dilarang secara mutlak. Apabila ada ayah kandung, atau laki-laki mahram yang ikut mendampingi, maka pertemuan yang bersifat langsung boleh saja dilakukan.
Pasangan itu bisa saja berjalan-jalan sambil bercakap-cakap, misalnya sambil berbelanja, berekreasi, atau melakukan perjalanan bersama. Yang penting tidak berduaan, dan pihak calon istri didampingi oleh laki-laki yang menjadi mahramnya.
Yang dilarang adalah posisi berduaan dan bersepi-sepi di tempat yang tidak ada orang tahu.
Untuk hal-hal yang lebih dalam, terkait dengan aib dan cacat, apabila dirasa kurang etis untuk dibicarakan secara langsung, maka masing-masing pihak baik suami atau istri boleh mengirim utusan untuk melihat secara langsung.
Pihak calon suami boleh mengirim kakak atau adik perempuannya kepada pihak calon istri, untuk melihat hal-hal yang sekiranya masih haram dilihat langsung oleh calon suami. Sehingga detail keadaan fisik calon istri bisa diketahui oleh sang utusan.
Dan demikian pula sebaliknya, calon istri boleh mengirim kakak atau adiknya yang laki-laki untuk mendapatkan informasi lebih detail tentang sang calon suami.
semoga remaja muslim lebih bisa memahami akan hal tersebut :)
BalasHapusSungguh sangat disayangkan, para remaja yang menjalani hubungan "pacaran" yang keluar dari kaidah islam itu justru merasa sudah mengikuti zaman yang modern dan dianggap keren.
BalasHapussetuju, tapi jangan sampai ta'aruf menjdi jalan menuju zina. berdalih ta'aruf, nnti maah menju hal yang sangat kontra
BalasHapusyap,, apalagi jaman sekarang anak muda sering melakukan perzinahan, seolah-olah itu sesuatu hal yang biasa tanpa mengingat hukumannya nanti di akherat...
BalasHapusta'aruf lebih aman, kan pacarannya udah halal (setelah menikah)
semoga "pacaran" sekarang lebih banyak lagi yang menggunakan konsep ta'aruf..
BalasHapusinfonya sangat bermanfaat sekali
BalasHapuspacaran khan tujuanx buat seneng........
BalasHapussebagai peringatan untuk kita membesarkan anak-anak sekarang yang semakin mencabar.
BalasHapuspengen pacaran yang kaya halal,,,taaruf jalannya...
BalasHapussubhanallah bagus sekali gan infonya, semoga sukses selalu
BalasHapuspostingan ini layak di akui jempol deh, semoga sajadpt di mengerti oleh kalangan muslimin dan muslimat.
BalasHapusJazakallah Bang atas infonya. Saya dulu nikah jiga dr proses ta'aruf. Gak pake pacaran lama. Cuma 1 bulan ta'aruf, trus nikah. pacarannya ya sesudah nikah. Subhanallah, Mahasuci Allah Yang Maha Suci
BalasHapus