Sebelas Desember setiap tahun diperingati sebagai hari berkabung rakyat Sulawesi Selatan. Peringatan tersebut dimaksudkan untuk mengenang kembali peristiwa jatuhnya korban yang tidak terhitung jumlahnya dari rakyat Sulawesi Selatan akibat tindakan teror tentara Belanda yang beranggotakan 123 orang di bawah pimpinan Kapten KNIL Reymond Paul Pierre Westerling.
Raymond Pierre Paul Westerling (lahir di Istanbul, Kesultanan Utsmaniyah, 31 Agustus 1919 – meninggal di Purmerend, Belanda, 26 November 1987 pada umur 68 tahun) adalah komandan pasukan Belanda yang terkenal karena memimpin Pembantaian Westerling (1946-1947) di Sulawesi Selatan dan percobaan kudeta APRA di Bandung, Jawa Barat.
Di setiap tempatnya bertugas sebagai kepala pasukan anti-teror/detasemen
pasukan khusus atau disebut DST (Special Forces Depot) atau Korps Speciale Troepen
– KST (Korps Pasukan Khusus), ia selalu menerapkan metode pembersihan
yang cenderung membabi-buta, mencontoh kisah sukses Gestapo, polisii
rahasia NAZI yang dibesut Hitler di era Perang Dunia II. Meski kejam,
tapi pemerintah colonial Belanda kala itu menghargai ‘upaya’ sang Jagal
berjuluk “The Turk” itu sebagai metoda efektif untuk meredam perlawanan
gerilyawan Indonesia kala itu.
Berbeda dengan versi
buku sejarah Indonesia yang menyebut jumlah korban pembantaian
Westerling di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947 sekitar 40,000 jiwa,
pemerintah Belanda sendiri menengarai jumlah korban ‘hanya’ sejumlah
antara 3000-5000 jiwa. Westerling sendiri dalam memoir nya di dua buku,
otobiografi berjudul Memoires yang terbit tahun 1952, dan De Eenling
yang terbit tahun 1982, hanya menyebutkan jumlah korban sekitar 400-600
jiwa. Menurut Petrik Matanasi, sejarahwan yang menetap di Yogyakarta,
korban Westerling dalam peristiwa Pembantaian di Sulsel hanya berkisar
pada ribuan dan tidak sampai puluhan ribu.
Foto Yang Dianggap Prosesi Eksekusi Pasukan Westerling |
Aksi Westerling baru
berakhir di 16-17 Februari 1947 di Mandar dengan korban 364 jiwa, dan
benar-benar berhenti tanggal 21 Februari 1947 dimana Belanda kemudian
menarik penuh pasukan DST dari Sulawesi Selatan, lebih dikarenakan
bnerita kebrutalan pasukan ini sudah menyebar luas ke luar negeri. Kalau
dihitung rata-rata korban perhari yang dibunuh Westerling, tarohlah
sekitar 40-100 orang perhari, maka dari tanggal 11-Desember 1946 hingga
17 Februari 1947 yang memiliki rentang 68 hari sekira tanpa jeda,
Westerling telah membunuh rakyat Sulawesi Selatan sekitar 2700 – 6800
jiwa. Angka ini jauh dari anggapan yang diyakini masyarakat saat ini
dan kemudian dicetak resmi dalam buku-buku sejarah: 40,000 jiwa!
Seharusnya memang para
penulis sejarah berhati-hati merilis angka korban, dan berusaha bijak
dalam memaparkannya. Angka 40ribu jiwa memang akan mengoyak sisi
emosionalitas dan menjadi perekat masyarakat Indonesia di masa-masa awal
perjuangan, tapi apakah angka itu juga ampuh menarik simpati generasi
muda yang lahir puluhan tahun kemudian? Alih-alih menimbulkan simpati
pada generasi muda, mereka yang kritis dan tak begitu punya keterkaitan
emosional pasti akan semakin menganggap bahwa kejadian itu hanya mitos
yang tak punya dasar sejarah yang jelas.
Belum lagi rasa harga
diri yang mempertanyakan, “Kemana para pejuang Indonesia yang katanya
gagah berani bersenjatakan bambu runcing, saat penduduk sipil dibantai
secara membabi buta selama 68 hari dari Makassar hingga Mandar? Apakah
mereka tiba-tiba menjadi lemah ketakutan mendengar nama Westerling sang
Jagal dari Turki? Bukankah kita mengenal nama-nama Wolter Monginsidi,
Emmy Saelan yang kelak dipahlawankan? Tak mampu kah mereka menahan laju
pembunuhan yang dilakukan Westerling dan DST dari subuh hingga siang
hari tanpa jeda?
Perbedaan persepsi itu merefleks pada sikap terhadap penamaan peristiwa
tersebut. Para pejuang, pelaku sejarah, dan saksi mata pada umumnya,
menerima angka 40.000 jiwa korban keganasan Westerling sebagai angka
atau jumlah yang faktual. Hamzah Dg. Mangemba mengatakan, “Tetapi fakta
telah berbicara. Dalam waktu 160 hari (dari 11 Desember 1946 s.d. 22 Mei
1947) Belanda telah membantai 40.000 jiwa korban mulai dari pesisir
barat Sulawesi Selatan di Laut Flores (Afdeling Mandar, Pare-Pare,
Makassar, dan Bonthain”.
Generasi yang lebih muda menolak anggapan 40.000 itu adalah faktual.
Angka tersebut dinilai tidak rasional, seperti yang dikemukakan oleh
Yusuf Kalla, “Kalau angka 40.000 jiwa atau setiap hari 330 jiwa tewas.
Tentu jumlah ini tidak mungkin. Rakyat Sulawesi Selatan tidak semudah
itu untuk ditembaki 330 orang per hari.
Yusuf Kalla bukannya tidak setuju peringatan hari Korban 40.000 Jiwa,
tapi menurutnya yang harus ditonjolkan adalah perjuangannya, bukan
pengorbanannya. Dia mengatakan, “Di Surabaya, 10 Nopember adalah sejarah
kepahlawanan, sedangkan di Sulawesi Selatan 11 Desember adalah hari
pengorbanan. Padahal Westerling yang memimpin pasukan khusus dikirim ke
Sulawesi Selatan adalah untuk memadamkan perjuangan heroik rakyat
Sulawesi Selatan yang tidak bisa lagi diatasi oleh tentara biasa.
Pejuang kita sebenarnya gagah berani, tapi mengapa tidak ditonjolkan?”
Dalam tulisan lainnya di Pedoman Rakyat, dia menjelaskan kerugian bagi
daerah Sulawesi Selatan apabila peringatan 11 Desember lebih menonjolkan
aspek pengorbanannya. Katanya, “Janganlah sifat atau jiwa berkorban
terlalu besar yang menjadi warisan kita. Karena apabila sifat berkorban
terlalu besar menjiwai kita, maka berakibat pada masa depan kita.
Pengalaman setelah 40.000, maka dalam bidang politik demikian juga.
Dengan segala cara, termasuk cara buldozernya Pemilu-pemilu yang lalu
khususnya tahun-tahun 70-80-an dimenangkan 90%, tapi hasil politiknya
untuk daerah, kecil. Begitu pula pengorbanan di bidang ekonomi. Dengan
segala pengorbanan pada rakyat kita, Sulawesi Selatan menjadi lumbung
pangan untuk memberi makan daerah-daerah lain sehingga pernah suatu saat
komoditi-komoditi yang berharga dibabat untuk padi. Tetapi secara
ekonomi pendapatan masyarakat kita jauh lebih rendah dibanding
daerah-daerah yang dibantunya. Akhirnya dia berseru, “Sudah waktunya kita menjadi pahlawan, karena itu pengorbanan kita terhormat.”
Pendapat yang dilontarkan oleh Yusuf Kalla tersebut mengudang reaksi
yang keras dari kalangan pejuang di Sulawesi Selatan, sehingga beliau
menarik kembali pernyataannya dan menyampaikan permintaan maaf.
Sangat banyak orang yang meragukan bahwa korban pembersihan ala Westerling
itu benar-benar mencapai 40 ribu jiwa. Menurut Prof. Dr. Rasyid Asba,
guru besar ilmu sejarah di Universitas Hasanuddin, angka korban sebesar
40 ribu jiwa itu bukanlah angka yang sebenarnya.
Katanya, klaim korban 40 ribu jiwa itu berasal dari Kahar Muzakkar,
seorang putra Bugis yang turut berjuang di Pulau Jawa. Saat itu, Bung
Karno mengajak bangsa Indonesia berduka atas meninggalnya 40 penumpang
kereta akibat tindakan Belanda. Kahar pun mengomentari pernyataan Bung
Karno itu. Katanya, di Sulsel korban mencapai 40 ribu jiwa, tetapi tidak
mencuri perhatian pemerintah pusat dan tidak dijadikan hari berkabung
nasional.
Salim Said, ketika mewancarai Kapten Westerling pada tahun 1969, menyebut angka 40 ribu jiwa itu sebagai klaim politik Kahar Muzakkar. Salim Said menyamakan klaim politik Kahar Muzakkar itu dengan klaim bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun lamanya. Westerling sendiri, dalam pengakuannya kepada Salim Said, mengaku jumlah korban hanya 463 orang.
Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, bahwa jumlah korban pembantaian terhadap Sulsel oleh Westerling mencapai 40.000 jiwa. Sedangkan pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling
Menurut penuturan H Maulwi Saelan, mantan pengawal Bung Karno, daerah yang terkena operasi ini mencapai 13 daerah: Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene, Barru, Sidenreng Rappang, Pinrang, Polewali, dan Mandar.
Dengan luasnya eskalasi operasi, juga dilakukan merata di setiap kampung, maka bisa diperkirakan jumlah korban memang sangat bisa mencapai puluhan ribu.
Akan tetapi, menurut saya, terlepas dari perdebatan soal angka pasti jumlah korban, satu hal yang tak bisa diabaikan : bahwa rakyat Sulsel telah turut berkorban jiwa dan raga demi mengusir kolonialisme di bumi pertiwi ini. Apa yang dilakukan oleh rakyat Sulawesi Selatan setidaknya sebagai pelengkap betapa heroiknya perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonialisme.
Salim Said, ketika mewancarai Kapten Westerling pada tahun 1969, menyebut angka 40 ribu jiwa itu sebagai klaim politik Kahar Muzakkar. Salim Said menyamakan klaim politik Kahar Muzakkar itu dengan klaim bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun lamanya. Westerling sendiri, dalam pengakuannya kepada Salim Said, mengaku jumlah korban hanya 463 orang.
Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, bahwa jumlah korban pembantaian terhadap Sulsel oleh Westerling mencapai 40.000 jiwa. Sedangkan pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling
Menurut penuturan H Maulwi Saelan, mantan pengawal Bung Karno, daerah yang terkena operasi ini mencapai 13 daerah: Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene, Barru, Sidenreng Rappang, Pinrang, Polewali, dan Mandar.
Dengan luasnya eskalasi operasi, juga dilakukan merata di setiap kampung, maka bisa diperkirakan jumlah korban memang sangat bisa mencapai puluhan ribu.
Akan tetapi, menurut saya, terlepas dari perdebatan soal angka pasti jumlah korban, satu hal yang tak bisa diabaikan : bahwa rakyat Sulsel telah turut berkorban jiwa dan raga demi mengusir kolonialisme di bumi pertiwi ini. Apa yang dilakukan oleh rakyat Sulawesi Selatan setidaknya sebagai pelengkap betapa heroiknya perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonialisme.
Sumber Bacaan :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Raymond_Westerling
- http://www.tuanguru.com/2011/12/peristiwa-korban-40000-jiwa-di-sulsel.html
- http://sejarahbangsaindonesia.blogdetik.com
- http://www.daengrusle.net/menakar-jumlah-korban-westerling/
Saya setuju dengan pendapat Bang Iwan "bahwa rakyat Sulsel telah turut berkorban jiwa dan raga demi mengusir kolonialisme di bumi pertiwi ini"
BalasHapussejarah yang tidak pernah boleh dilupakan... meski zaman semakin lama semakin berubah...
BalasHapussunggu sangat tragis sekali..
BalasHapuskasian sekali keluarganya..
BalasHapustragis sekalli ceritanya..
BalasHapusterimakasi banyak artikelnya gan..
BalasHapuskasihan sekali keluarga yg ditinggalkannya..
BalasHapusoohh gitu yaa sejarahnya..
BalasHapusmantep seklai ceritanya gan..
BalasHapusga kebayang gan..
BalasHapusGan,, makasih yaaaa infonya.
BalasHapusbaru tw nih saya Gan....
BalasHapusitulah para pahlawan yang harus kita kenang,telah membela negara ini,
BalasHapuswaahhh bnyak bgt tuh korbannya..
BalasHapuswah,,banyak yang telah menjadi korban demi membela bangsanya
BalasHapussipp deh Gan,, jdi tw nih saya...
BalasHapuswiihhh ternyata....
BalasHapusterima kasih sudah berbagi artikelnya gan
BalasHapusoohhh ada sejarahnyaa yaa
BalasHapuskita harus mengenang jasa-jasa para pahlawan kita yang telah menjunjung tinggi bangsa kita ini.,
BalasHapusmari kita lanjtkan prjuangan mereka...
BalasHapusperjuangan yang begitu luar biasa, saat ini kita hanya perlu menjaga dan mengisi kemerdekaan hasil jerih payah pendahulu kita dengan prestasi dan tetap menjaga persatuan kesatuan.
BalasHapusIya ni, harusnya jiwa dan semangat kepahlawanannya yang harus ditonjolkan dan bukan pengorbanannya sebab bangsa dan raykat kita abesar dan gagah berani
BalasHapusikut menyimak gan
BalasHapusthanks atas infonya yah gan..
BalasHapusditunggu postingan bermanfaat berikutnya kawan.
BalasHapus40.000 jiwa. parah tuh orang. gak berperi kemanusiaan.
BalasHapusemh sedihh melihat foto jaman dahulu kala, dimana disana mereka masyarakat Indonesia adalah pahlawah bagi kami :)
BalasHapusSaya juga setuju dengan pendapat Bang Iwan "bahwa rakyat Sulsel telah turut berkorban jiwa dan raga demi mengusir kolonialisme di bumi pertiwi ini"
BalasHapusemhh kasihan para korban itu :(
BalasHapusperjuangan yang sungguh kuat dari para pahlawan kita, alangkah baiknya kita menghargai mereka dengan menjaga sekitar kita dengan baik. :)
BalasHapusbaru tau aku pak ,, mungkin aku kurang belajar sejarah,,
BalasHapusSemoga korban-korban di sulawesi mendapatkan tempat yang layak disisi-Nya.
Semangat kebangsaan saudara2 pahlawan kita jangan sampai ternodai oleh budaya barat yang melanda negeri ini kawan..
BalasHapussejarah yang tak bisa terlupakan..
BalasHapusthank gan to infonya :)
BalasHapusakan selalu dikenang....
BalasHapusmakasih banyak atas semua info nya ,,,,,,,,
BalasHapusInfo yang bagus
BalasHapusv
v
v
>>>>>>>>>>>>tumpang admin
Memang Sulit dipercaya kalau korbannya sampai 40.000 jiwa.....
BalasHapus